Angka Permohonan Dispensasi Kawin di PA Ponorogo Masih Tinggi
www.pa-ponorogo.go.id || 13/12/2022. Dispensasi kawin merupakan pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami/istri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Kewenangan pengadilan untuk memberikan dispensasi kawin tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan perubahan usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun sebagai hasil pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, perkara permohonan dispensasi kawin dapat dipastikan meningkat secara signifikan. Selama kurun waktu 3 tahun terakhir 2019 s.d 2021 angka permohonan dispensasi nikah pada PA Ponorogo meningkat. Walaupun mengalami penurunan dibandingkan tahun 2021 (266) jumlah perkara dispensasi kawin masih tetap tinggi di Tahun 2022 yaitu 184 perkara.
Dalam penanganan perkara permohonan dispensasi kawin, PA Ponorogo berinisiatif untuk tahun 2023 mendatang sebagai upaya menyaring perkara yang diajukan, Pengadilan Agama Ponorogo dapat bekerjasama dengan Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Ponorogo dan Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo Setiap pihak yang akan mengajukan permohonan dispensasi kawin mengikuti layanan konseling dan layanan pemeriksaan kesehatan untuk melengkapi syarat pendaftaran perkara. Rekomendasi dari hasil konseling maupun pemeriksaan kesehatan akan dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim dalam memeriksa perkara permohonan dispensasi kawin. PA Ponorogo sendiri kerap diundang dalam diskusi dengan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) yang fokus pada perkembangan isu perkawinan anak.
Kewenangan pengadilan untuk memberikan dispensasi kawin seringkali menjadi sorotan karena seolah-olah pengadilan dapat membuka pintu bagi perkawinan anak. Sementara untuk mencegah perkawinan anak tidak dapat semata-mata hanya dibebankan kepada pengadilan. Perkawinan anak merupakan masalah yang kompleks, yang meliputi berbagai faktor sehingga memerlukan kerja sama dan sinergi dari semua pemangku kepentingan, terutama faktor kemisikinan yang berpengaruh pada tingkat pendidikan anak. Seandainya jaminan pendidikan dengan program wajib belajar 12 tahun dapat berjalan dengan baik, setidaknya setiap anak akan dapat mengikuti pendidikan hingga usia 18 tahun, dan akan secara signifikan mengurangi tingkat perkawinan anak. Selain itu sistem hukum yang ada juga belum mampu mencegah praktik perkawinan anak, selain tidak dapat dikenakan sanksi bagi pelaku perkawinan anak selama tidak ada unsur paksaan, dan merupakan ranah hukum privat, sebagian besar perkawinan anak juga dilakukan secara siri, yang dalam realitas kehidupan masyarakat Muslim di Indonesia masih diyakini sebagai perkawinan yang sah menurut hukum agama, sehingga sering tidak terjangkau oleh pengawasan pemerintah. (yl)